Ada Larangan Dokumentasi di Proyek LRT Jakarta Fase 1B, Ini Kata Dosen Hukum Unissula
SiberKota.com, Jakarta – Pada proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) Jakarta Fase 1B rute Velodrome – Manggarai, terpampang larangan mengambil mendokumentasi.
Tertulis pada papan yang terpampang berwarna merah itu, Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 40.
Kemudian, Undang-Undnag Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pasal 12 ayat 1.
Lalu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat 1.
Adanya larangan tersebut, Muhammad Taufiq, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) memberikan tanggapannya.
Jakpro Ngawur dalam Penggunaan Pasal di Proyek LRT Jakarta
Taufiq menganggap, penggunaan pasal-pasal tersebut tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik.
Menurutnya, UU Telekomunikasi pasal 40 itu hanya menyangkut larangan kegiatan dalam bentuk penyadapan.
Sedangkan, lanjut Taufiq, penyadapan adalah merupakan tugas atau pekerjaan intelejen.
Oleh karenanya, tidak mungkin menyebut orang yang melihat proyek itu sebagai penyadapan.
Lebih lanjut, Taufiq menyebutkan bahwa pemasangan papan larangan dokumentasi itu tidak memiliki dasar hukum.
“Saya menilai Jakpro itu menggunakan pasal-pasal itu secara ngawur. Istilah indukannya, Jakpro ini istilahnya sangat tidak mendasar,” ucapnya, Sabtu (23/12).
Perihal UU Hak Cipta. Taufiq menjelaskan bahwa penyebutan hak cipta itu eksklusif berada pada principal.
Artinya, lanjut Taufiq, principal itu adalah ciptaannya itu hanya dimiliki oleh mereka yang membuat.
“Nah, pertanyaannya apakah seorang jurnalis mengutip sebuah proyek pembangunan itu bisa dianggap mengambil alih hak cipta? Kayaknya, tidak,” tukasnya.
Taufiq juga menyatakan, kutipan atas Pasal 28 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik adalah sebuah kekacauan.
Sebab, maksud dari pasal tersebut adalah penyebaran berita yang bersifat hoaks atau berita tidak nyata.
“Nah, kalau itu proyek pemerintah, badan hukum publik, di mana nilai hoaks nya?,” herannya.
Secara prinsip, ucap Taufiq, aturan pelarangan pada pembangunan proyek BUMD PT Jakarta Propertindo (Jakpro) ini bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Apa yang menjadi larangan Jakpro mengaitkan dengan UU Telekomunikasi, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Hak Cipta, itu bertentangan dengan UU Nomor 14 tahun 2008. Itu tentang informasi publik,” urainya.
“Jadi, bunyi lengkapnya begini. Badan publik yang melakukan sebuah kegiatan yang sedang berjalan di dalam lingkup badan publik, maka informasi tentang kinerja dalam lingkup publik tersebut berupa narasi apapun itu boleh di kutip,” sambungnya.
Badan Hukum Publik Harus Menyiarkan Aktivitasnya
Menurut Taufiq, badan hukum publik seperti perseroan terbatas, Pemda, atau Pemprov, justru harus menyiarkan apa yang menjadi aktivitasnya.
Terkecuali kaitan persoalan-persoalan militer. Pembangunan pangkalan udara, pembangunan pusat informasi, dan telekomunikasi intelejen itu tidak boleh,”
Kembali Taufiq ungkapkan, larangan-larangan yang mengaitkan dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya pasal menyebarkan berita bohong, itu tidak benar.
“Kemudian mengutip, memviralkan kegiatan tersebut dianggap juga mencuri hak cipta itu juga tidak masuk,” ungkapnya.
Taufiq menilai, larangan tersebut sebagai tindakan paranoid yang tidak sesuai dengan sifat badan hukum publik.
“Jadi, menurut saya Jakpro ini makin paranoid dan makin jauh dari sifatnya. Semoga pencerahan ini bisa di mengerti banyak orang,” tandasnya.
Baca berita SiberKota lainnya, di Google News