Soal Alokasi Anggaran Pendidikan 20 Persen, Pakar: Tidak Tepat Sasaran
SiberKota.com, Jakarta – Komisi X DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas implementasi alokasi anggaran fungsi pendidikan 20 persen APBN tahun 2019-2024.
RDP tersebut digelar oleh Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI, bersama pakar pendidikan pada Kamis (20/6).
Pembahasan tersebut berasal dari Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf mengungkapkan, sejak tahun 2009-2024, negara telah menggelontorkan anggaran pada sektor pendidikan sebanyak Rp. 6.625 Triliun.
Namun, lanjut Dede, dalam perjalanannya, pengeluaran anggaran tersebut belum menjawab kebutuhan pendidikan di Indonesia.
“Namun dalam perjalanannya upaya tersebut masih belum menjawab aksesibilitas pendidikan di Indonesia dengan kondisi peserta didik dan lingkungan sekolah yang beragam. Jadi yang jelas inilah gambaran-gambaran dunia pendidikan yang perlu kita cari tau apakah 20 persen anggaran fungsi pendidikan ini sudah tepat sasaran atau belum?,” ucapnya saat memimpin rapat.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Pendidikan Univeritas Pendidikan Indonesia (UPI), Nanang Fattah berpendapat bahwa alokasi anggaran pendidikan tidak tepat sasaran.
“Jadi, kalau kita berbicara peruntukan 20 persen itu, dulu ide awalnya di jaman reformasi 98 itu bukan untuk pendidikan di luar kemendikbud, tidak. Karena sudah dihitung itu untuk peningkatan mutu sekolah-sekolah yang dikelola oleh kemendikbud waktu itu, tidak diluar itu. Sekarang salah sasaran, kementrian, sekolah dinas, bahkan lembaga-lembaga negara dikasih, disalurkan dalam biaya-biaya itu,” paparnya.
Nanang menyebutkan, keadaan yang berjalan saat ini pada anggaran pendidikan tersebut, pengeluarannya asal-asalan.
“Jadi jangan merasa besar dengan dengan 20 persen, itu tidak besar. Ini saya ingin meluruskan di sini, ini berdasarkan kajian, berdasarkan kebutuhan ideal dan faktual yang ada di lapangan berapa kemampuan dari sisi penerimaan. Kalau soal studi biaya itu gampang, berapa penerimaan, sumbernya berapa dan berapa yang digunakan, dan digunakan sesuai dengan fungsinya. Ini cost consent namanya, fungsi biaya untuk apa pendekatannya. Bukan asal keluar duit, tapi fungsi biayanya seperti apa,” tandasnya.
Baca berita SiberKota lainnya, di Google News