Warga Eks Rusun Petamburan Adukan Gubernur DKI Dugaan Maladministrasi
Siberkota.com, Jakarta – Warga korban penggusuran rusunami di Petamburan, Jakarta Barat adukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke Ombudsman Perwakilan. Sikap demikian menyusul Gubernur dituding lakukan maladministrasi terkait kewajiban ganti rugi terhadap penghuni rusun.
Kasus bermula saat proses relokasi warga Rusun di Petamburan beberapa tahun lalu. Beberapa kali proses hukum bergulir antara para warga dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Hingga putusan pengadilan memenangkan gugatan warga supaya diberikan haknya atas relokasi yang berlangsung.
Dimana isi putusan memerintahkan Pemprov DKI membayar ganti rugi kepada 473 KK warga Petamburan sebesar total Rp4.7 Miliar. Disamping itu, Pemprov DKI juga dituntut menyediakan unit rumah susun pengganti krpada warga terdampak sesuai dengan janjinya sebelum penggusuran.
Pada 15 Januari 2019, Anies Baswedan pernah menyampaikan janjinya untuk mematuhi isi putusan dan membayar uang ganti rugi sebesar Rp 4.7 Miliar kepada warga. Namun hingga kini, janji tersebut tidak pernah terealisasi.
“Tidak ada alasan Pemprov tidak mengeksekusi putusan dan memulihkan hak warga. Apa yang dilakukan Pemprov DKI adalah maladministrasi dan melanggar hak warga mendapatkan pemulihan atas pelanggaran jaminan tempat tinggal yang layak yang telah dialami,” tutur Charlie Albajili, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang mendampingi warga dalam pengaduan, Kamis (28/10).
Sebelumnya, kasus ini bermula ketika 473 KK warga RW 09 Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat digusur oleh Pemprov DKI Jakarta pada tahun 1997 untuk pembangunan Rusunami di wilayah tersebut.
Meski demikian, pada pelaksanaannya Pemprov DKI melanggar hukum karena melakukan pembebasan tanah sepihak hingga relokasi yang tertunda hingga 5 tahun karena molornya pembangunan Rusunami.
Warga kemudian menggugat Pemprov DKI yang kemudian dikabulkan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 107/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst tanggal 10 Desember 2003.
Putusan tersebut dikuatkan melalui Putusan pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 377/Pdt/2004/PT.DKI tanggal 23 Desember 2004 dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2409/KPDT/2005 tanggal 26 Juni 2006. Langkah warga meminta haknya sangat sulit karena tidak adanya itikad dari Pemprov DKI Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta mengajukan Peninjauan Kembali yang kemudian ditolak melalui Putusan Mahkamah Agung No. 700/PK.pdt/2014.
Pemprov juga sempat mengajukan permohonan status non-executable kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun kembali ditolak