Soal RUU DKJ, Pengamat: Dewan Kawasan Aglomerasi Bukan Wewenang Wapres
SiberKota.com, Jakarta – Rancangan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) usulan DPR RI menjadi pembahasan yang selalu hangat. Sebab, terdapat beberapa pasal yang janggal mengenai Dewan Kawasan Aglomerasi.
Pengamat Politik Citra Institute, Efriza menanggapi perihal Pasal 51-56 yang membahas tantang Dewan Kawasan Aglomerasi yang Wakil Presiden pimpin.
Pasalnya, ada yang menjadi pusat perhatiannya perihal keinginan bersama pada 11 kewenangan di pasal tersebut.
“Yang menjadi pusat perhatian ada energi, kesehatan, transportasi, kemudian ada pengelolaan sampah, ada limbah B3,” ujarnya, Selasa (9/1).
Dewan Kawasan Aglomerasi Bukan Wewenang Wapres
Efriza menyatakan, adanya ketidakjelasan kenapa Wakil Presiden menjadi Dewan Kawasan Aglomerasi.
Menurutnya, alasan-alasan yang dikemukakan tidak lah substantif, atau hanya alasan yang remeh temeh.
Selain itu, menjadikan Wapres sebagai Dewan Kawasan Aglomerasi itu adalah hal yang salah.
Sebab, sistem Negara Indonesia adalah Presidensial dan Wapres tidak memiliki kewenangan yang bersifat atribut.
“Seperti bahwa kerja presiden begitu banyak, kalau satu menteri tidak mungkin dan 4 Kemenko itu harus diintegrasikan, dan ini tidak bisa sembarangan, seperti itu penjelasannya,” paparnya.
Polemik Kawasan Aglomerasi
Efriza menekankan, pada pemilihan kawasan aglomerasi mestinya terlebih dahulu memahami berbagai persoalan yang ada.
Misalnya, bagaimana mengintegrasikan antar daerah. Sebab, pada kenyataannya Indonesia menganut sistem multipartai dan kekuatan antar partai yang berbeda-beda.
“Contoh, Kota Tangerang dan Tangsel masuk dalam kawasan aglomerasi basis dari Golkar Provinsi Banten, atau Depok wilayahnya PKS,” tuturnya
Kemudian, bagaimana mengintegrasikan daerah-daerah lain yang kekuatannya antar partai juga sama-sama besar.
Misal, saat ini saja Presiden sangat sulit untuk mengundang Gubernur menjadikan satu pemikiran atau satu frekuensi.
“Begitu juga gubernur sulit mengundang bupati dan Bupati sulit mengundang walikota,” jelasnya.
Menurut Efriza, dengan keadaan seperti itulah yang akan menimbulkan polemik, jika adanya pemaksaan dalam membentuk kawasan aglomerasi.
Contoh konkret yang telah terjadi, pada saat Presiden Joko Widodo berencana membangun Waduk di Kota Depok, tapi ada penolakan dari Wali Kota saat itu.
“Ilustrasi lamanya begitu. Saat Jokowi ingin menyelesaikan banjir dengan membangun Waduk, dapat penolakan dari Nur Mahmudi Ismail, Walikota Depok,” ungkapnya.
Kemudian, Efriza juga menegaskan, jangan sampai kawasan aglomerasi menjadi persolan baru dalam sentralisasi dan desentralisasi.
“Jangan sampai kawasan aglomerasi ini tanpa kita sadari menghadirkan sentralisasi gaya baru, yaitu pusat. Ini akan menjadi momok baru,” tegasnya.
Untuk itu, Efriza meminta agar kawasan aglomerasi ini lebih mendetail. Sebab, Jakarta merupakan wilayah dengan keinginan yang global.
“Jika kawasan aglomerasi sebagai pendukung Jakarta, harusnya lebih detail dalam menjadikan wilayah dengan keinginan Global dan perekonomian yang baik, ketika sudah tidak menjadi ibukota,” tandasnya.
Baca berita SiberKota lainnya, di Google News