PLTS, Solusi Energi di Masa Depan atau Hanya Gimik
Siberkota.com, Tangerang Selatan – Indonesia sangat kaya akan energi terbarukan dengan potensi lebih dari 400.000 Mega Watt, 50% diantaranya atau sekitar 200.000 MW adalah potensi energi surya.
Dengan kebutuhan yang semakin banyak, maka Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mentargetkan PLTS Atap digunakan sekitar 3.600 MW secara bertahap hingga tahun 2024/2025 berpotensi mengurangi biaya bahan bakar per unit kWh sebesar Rp.7,42 kWh dengan nilai rupiah gas total yang dapat dihemat sebesar Rp 4,12 triliun per tahun.
Dengan potensi sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai bagian integral dari bauran energinya.
Seiring dengan komitmen pemerintah untuk mencapai target pemenuhan 23% bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada tahun 2025 dan mengurangi emisi hingga nol karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan target ambisius untuk menggerakkan revolusi energi surya di Indonesia.
Menurut target bauran energi yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, pada tahun 2025, Indonesia harus mampu mengembangkan PLTS Atap hingga sebesar 3,6 GW dan mendorong masyarakat dan industri untuk mengadopsi PLTS atap. Data ini mencerminkan komitmen Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim dan memanfaatkan potensi energi terbarukan untuk masa depan yang berkelanjutan.
Namun, dalam kenyataannya, penerapan PLTS atap di kalangan masyarakat dan industri masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah kendala yang berkaitan dengan ketidakpahaman masyarakat perihal PLTS atap, mahalnya biaya awal untuk membangun sebuah PLTS dan sistem PLTS yang bersifat Intermittent.
Bahkan ketika terbitnya aturan Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 dimana salah satunya mengatur perihal maksimum kapasitas terpasang PLTS atap adalah 100% dari daya tersambung pelanggan PLTS atap dan batasan ekspor listrik ke PLN dari 65% berubah menjadi 100%, akan tetapi peraturan tersebut tidak dijalankan sepenuhnya oleh PLN sehingga dilapangan masih terjadi pembatasan kapasitas pemasangan PLTS atap yaitu hanya 10-15% dari daya terpasang dan ekspor listrik ke PLN dibatasi hanya 65%. Akibatnya pelanggan PLTS atap pada tahun 2022 menurun.
Menurunnya pelanggan PLTS atap terjadi karena masyarakat dan industri memandang dengan pembatasan kapasitas yang dilakukan oleh PLN tidak menguntungkan bagi mereka.
Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai target yang jelas untuk menjadikan PLTS sebagai solusi energi di masa depan, akan tetapi target ini tidak dapat diselesaikan.
Jika aturan perihal pemasangan PLTS birokrasi pengajuan pemasangan PLTS sulit, tidak memihak terhadap masyarakat dan industri, penerbitan SLO sulit dan tidak adanya insentif yang membuat masyarakat tertarik. Semua stakeholder yang terlibat pada program PLTS nasional seharusnya berorientasi pada target yang ingin dicapai demi kepentingan nasional. Bukan berorientasi pada laba yang akan diperoleh.
Jika semua stakeholder mempunyai visi yang sama, maka insya ALLAH PLTS sebagai solusi di masa depan akan benar-benar terwujud. Akan tetapi jika setengah hati, maka PLTS tidak akan menjadi solusi hanya sebagai gimik saja.
Penulis: Galuh Eka Pratama Putri