Kementerian PUPR Beri SIPPA ke Swasta, Melanggar Aturan?

Siberkota.com, Jakarta – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memberi izin sejumlah perusahaan swasta untuk mengambil dan memanfaatkan air permukaan untuk kebutuhan usaha di wilayah Provinsi Banten.

Namun, untuk jumlah keseluruhan di provinsi Banten, pihak Kementerian PUPR belum dapat menyampaikan jumlah pastinya.

Seperti disampaikan Dwi Purnomo, selaku Ketua Tim Verifikasi Produk Hukum Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PUPR, Senin (22/7/2024).

“Karena kita kan berdasarkan pengelolaan wilayah sungai. Dan wilayah sungai kewenangan pusat itu lintas provinsi. Kemudian ada lintas negara dan strategis nasional. Jadi tidak membagi per administratif ke provinsi. Nah kalau ditanyakan berapa jumlahnya, banyak sekali saya yakin. Ini kan juga tidak spesifik ya tahun berapa. Kita kan ijin peraturan itu Permen 1 tahun 2016, baru kemarin kemudian Permen 2 tahun 2024. Jadi, banyak sekali saya yakin. Kalau mau data nanti kami coba berikan datanya,” ungkapnya.

Diketahui, di wilayah Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terdapat 85 perusahaan yang memanfaatkan air permukaan untuk kebutuhan usaha.

Terdiri dari 62 perusahaan dengan izin Kementerian dan 23 dengan Izin dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Banten.

Mengacu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Sejatinya penggunaan air untuk kebutuhan usaha dimana air dan daya air digunakan sebagai materi, yang menghasilkan produk berupa air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Namun, di Provinsi Banten ada beberapa perusahaan diantaranya PT Aetra Air Tangerang, PT Traya Tirta Cisadane, dan PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri telah memiliki Surat Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan (SIPPA) dari Kementerian PUPR.

Padahal, disinyalir perusahaan-perusahaan tersebut memproduksi dan menjual air curah.

“Alasan kami memberi ijin ya kalau dulu istilahnya SIPPA ya. Kalau sekarang kita membaginya menjadi Ijin Pengusaha Sumber Daya Air atau Persetujuan Pengunaan Sumber Daya Air. Simple saja, kenapa diberikan ijin. Mereka minta ijin sesuai dengan ketentuan kita berdasarkan pengaturan perijinan pakai PerMen 2 tahun 2024 ya. Kalau sebelumnya PerMen 1 tahun 2016. Sepanjang permohonan itu dilengkapi dengan jelas, berkas-berkas administratif. Kemudian secara teknis juga terpenuhi akan kami berikan izin,” ungkapnya.

Terpisah, Praktisi hukum dari Universitas Pamulang, Suhendar memberikan pandangannya perihal perizinan yang dipaparkan oleh pihak Kementerian PUPR.

“Iya tentang izin pengelolaan sumber daya air ini kan harus kita letakkan pada konteks pasca putusan MK, yang kemudian memberlakukan kembali UU 2007 lalu setelah itu hari ini lahir UU yang tahun 2019,” ujar Suhendar.

“Yang pertama mengenai pengusahaan air itu prinsipnya tidak boleh meniadakan hak rakyat atas air sehingga, pengusahaan air tersebut tidak boleh mengabaikan apalagi mengganggu karena hakekatnya air ini adalah milik rakyat yang penggunaanya harus di kembalikan kepada kepentingan rakyat,” tambahnya.

Selanjutnya, kata Suhendar, hak atas air ini adalah hak asasi, dimana Pemerintah Pusat dan Daerah berkewajiban menjamin pelaksanaan pemenuhan asasi itu.

“Nah, yang terakhir secara tegas sebagai bentuk penguasaan Negara terhadap air maka yang di bolehkan dan di benarkan dalam tafsir konstitusional Mahkama Konstitusi (MK) atas kuasa air adalah, Badan usaha milik negara (BUMN) dan Badan usaha milik daerah (BUMD), jadi hanya entitas inilah yang di benarkan untuk melakukan penguasaan air nah, memang kemudian ada UU No. 17 2019. yang pemaknaan penguasaan air yang semula hanya BUMN dan BUMD di tambah dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES),” terangnya.

Suhendar menekankan, bahwa pemberian SIPPA kepada pihak swasta oleh kementerian bersebrangan dengan putusan MK.

“Iya sangat kontradiksi dengan nilai-nilai konstitusionalitas pengelolaan air yang sudah di putuskan oleh MK artinya mestinya hukum pengelola sumber daya air baik UU yang maupun utamanya pelaksanaan teknis yang di atur oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri dia harus mengejawantahkan nilai-nilai yang lima nilai besar tadi artinya hanya Negara,” tuturnya.

Kata Suhendar, meski pada UU 17 tahun 2019 badan usaha bisa melakukan pengelola terhadap sumber daya, harus terlebih dahulu mengedepankan prioritas-prioritas yang utama.

“Jadi, ketika utamanya misalnya Pemerintah pusat mengeluarkan pemberian izin kepada badan usaha pertanyaannya adalah apakah Pemerintah pusat sudah tau kebutuhan dan ketersediaan air untuk masyarakat di Daerah kalau itu sudah tau maka itu benar dengan prioritas tadi, kebutuhan pokok sehari-hari dan seterusnya tapi kalau Pemerintah mengabaikan prioritas kebutuhan lantas memberikan izin ada masalah di situ. Maka patut diduga prose perizinan itu ga benar,” pungkasnya.

Baca berita SiberKota lainnya, di Google News

You might also like
Leave A Reply

Your email address will not be published.