Mengapa Harus UU Perampasan Aset? Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dari Tindak Pidana Ekonomi
Siberkota.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana beberapa waktu terakhir ramai menjadi perbincangan publik. RUU ini sejatinya telah beberapa kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di antaranya di tahun 2008, 2014, 2015-2019 dan kini di tahun 2023. Terlebih dengan munculnya dugaan transaksi janggal sebesar Rp349 triliun pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Konsep perampasan aset tanpa pemidanaan dalam RUU tersebut terus menjadi bahan diskusi baik dari kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Pahrur Dalimunthe, mengatakan bahwa RUU Perampasan Aset ini sangat penting, namun harus dibahas dengan sangat hati hati. Pasalnya, jika RUU ini disahkan akan mengubah tatanan hukum secara drastis, karena RUU ini menggabungkan instrumen hukum pidana sekaligus perdata dan merupakan penggabungan antara sistem hukum civil law dan common law. Oleh karenanya, pembahasan RUU Perampasan Aset harus dilakukan dengan penuh kehati hatian agar tidak menimbulkan praktik abuse of power khususnya oleh para aparatur penegak hukum.
Pahrur menyampaikan, berdasarkan pasal 2 RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, konsep yang digunakan adalah civil forfeiture yaitu perampasan aset tidak didasarkan pada tindak pidana. Konsep ini pada dasarnya merupakan amanah pasal 54 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indinesia melalui UU No 7 Tahun 2006. Dia menjelaskan salah satu poin penting dalam perjanjian internasional tersebut yaitu negara diperintahkan untuk mengadopsi konsep perampasan aset tanpa pemidanaan, dimana konsep ini merupakan hal yang sangat baru bagi Indonesia.
“Terdapat 3 jenis konsep perampasan aset, pertama secara pidana (criminal forfeirture), kedua secara administrasi (administratif forfeiture) dan ketiga secara perdata (civil forfeiture). Konsep ketiga inilah yang diadopsi dalam RUU Perampasan Aset” ujarnya dalam diskusi daring bertema “Mengapa Harus UU Perampasan Aset? Optimalisasi Pengembalian Kerugian Negara dari Tindak Pidana Ekonomi” yang diselenggarakan oleh Juris Polis Institute, Minggu (28/5/2023).
Tak hanya merampas aset hasil kejahatan korupsi, Pahrur menegaskan UU Perampasan Aset berlaku untuk semua jenis tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi. Dengan kata lain, subjek yang terkait dengan aset ini, bukan hanya pejabat negara atau ASN melainkan setiap orang. Dalam penjelasan pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa Aset yang tidak seimbang dapat diperoleh dari petunjuk perhitungan total kekayaan yang diperoleh, antara lain, dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Laporan Pajak Penghasilan Pegawai (LP2P), atau Surat Pajak Tahunan (SPT).
“Oleh karena itu perlu adanya rearrange norma tersebut agar ketentuan ini tidak menjadi norma liar” tambahnya.
Expert dalam penyusunan Global Crime Index itu berpendapat, dengan adanya penambahan ketentuan bahwa terdakwa yang diputus lepas namun hartanya bisa dirampas, adalah bukti bahwa penegak hukum telah gagal memaksimalkan aturan aturan hukum yang ada. UU Tipikor telah mengatur gugatan perdata terhadap ahli waris jika terdakwa meninggal dunia, kemudian UU TPPU juga mengamini persidangan in absentia. Artinya, instrumen hukum saat ini sesungguhnya sudah sangat memadai, tinggal bagaimana komitmen dari penegak hukum untuk memaksimalkan penggunaanya.
“Instrumen hukum saat ini memang sudah mampu memberantas tindak pidana korupsi. Namun tentu saja dengan UU Perampasan Aset, pemberantasan tindak pidana menjadi lebih powerful dan memudahkan kinerja aparatur hukum” ungkap Pahrur.
Secara garis besar, pakar hukum TPPU sekaligus pengacara ini menyatakan dukungannya atas pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Dukungannya tersebut terutama mengingat besarnya ongkos dalam pemberantasan suatu tindak pidana khususnya korupsi, sedangkan aset yang bisa dirampas tidak sampai 10%. RUU ini diproyeksikan untuk dapat membantu negara merampas aset-aset yang luput dan tidak bisa dirampas melalui proses pemeriksaan secara pidana. Terlebih dari awal UNCAC dikumandangkan, Indonesia belum memiliki instrumen hukum terkait perampasan aset yang komprehensif.
“Apa yang harus dilakukan saat ini adalah memautau, mengikuti dan memberikan kritik serta masukan agar para penyusun UU dan masyarakat mengetahui dan memahami ada sisi positif dan negatif pada aturan ini. Sehingga nantinya aturan yang ada dapat menjadi aturan yang adil dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak” pungkasnya.