FITRA Sebut Bank DKI Berikan Kredit ke PT PJA Rp900 Miliar Lebih Tanpa Agunan Kebendaan

Siberkota.com, DKI Jakarta – Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyoroti persoalan kredit PT Pembangunan Jaya Ancol (PT PJA) di Bank DKI yang menjadi temuan pada laporan hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pengelolaan kredit dan pembiayaan Tahun Buku (TB) 2021 sampai dengan semester I TB 2022 pada PT Bank DKI.

Peneliti Divisi Hukum dan HAM Fitra, Siska Baringbing menyampaikan pandangannya.

“Berdasarkan hasil audit BPK atas Bank DKI tentang pemberian kredit Bank DKI salah satunya itu untuk PT PJA yang merupakan BUMD Pemprov DKI Jakarta. Jadi berdasarkan hasil audit BPK tersebut sejak 2016 sampai 2019 ada pemberian kredit itu sampai 8 kali, kemudian di 2021 juga ada. Jadi ada 9 kredit tapi beberapanya itu adendum-adendum jadi 9 totalnya, namun 2016-2019 itu diberikan dengan skema clean basis. Skema clean basis ini adalah skema kredit itu tanpa agunan kebendaan atau jaminan kebendaan. Nah ini biasanya kepada debitur-debitur yang dianggap debitur prima yang sudah jelas caseflownya, kreditnya lancar seperti itu. Nah nilai kredit ini cukup fantastis sampai 300 miliar kredit yang diajukan, itu cukup fantastis. Nah kemudian di 2021 permasalahannya ada pengajuan kredit baru sampai 516 miliar, ada jaminannya tetapi ternyata jaminannya tidak diletakkan hak tanggungan ini yang menjadi letak permasalahannya. Jadi pemberian kredit selama 108 bulan yang saya baca dari hasil audit BPK tetapi meskipun ada jaminan tapi jaminannya tidak diletakan hak tanggungan. Kenapa permasalahannya? Ada persoalan administrasi antara PT PJA dan Pemprov DKI Jakarta yang belum juga diselesaikan sebagai persyaratan untuk mengurus hak tanggungannya, untuk meletakkan hak tanggungan atas jaminan kredit yang diajukan. Nah ini menjadi permasalahan karena ini sangat beresiko kalau terjadi kredit macet maka hak tanggungan ini tidak bisa disitas nanti oleh Bank DKI, nah ini yang bisa kita katakan bahwa bank DKI ini sama seperti hasil audit BPK  tidak menggunakan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit kepada debitur, kepada PT PJA. Ini beresiko sekali walaupun sama-sama BUMD tetapi tidak boleh ada keistimewaan yang diberikan, harus tetap Bank DKI selaku bank yang juga sudah Tbk kalau kita lihat dan mengelola model penyertaannya itukan dari pemerintah DKI Jakarta, juga ditambah dengan dana-dana dari nasabah juga ada di dalamnya, juga sudah go publik, ini anggaran publik yang harus dipertanggungjawabkan,” katanya.

“Jadi kerja-kerja dalam pengajuan pemberian penyaluran kredit itu harus tetap mempergunakan prinsip kehati-hatian tidak bisa ketika oh ini sesama BUMD kita berikan hak istimewaan dong, tidak bisa jangan sampai jeruk makan jeruk. Ini berbahaya sekali ini berisiko kredit 516 miliar jangka waktunya 108 bulan tetapi jaminannya belum diletakkan hak tanggungan. Saya belum tahu apakah 516 miliar ini dicairkan secara bertahap atau sudah sekaligus 516 ini karena audit BPK-nya tidak menyampaikan secara detail tentang itu, tetapi tetap ini beresiko  perbankan itu harus melaksanakan prinsip kehati-hatian apalagi ini banknya BUMD. Jadi uang rakyat yang dikelola oleh Bank DKI ini dapat dipertanggungjawabkan, jangan meletakkan resiko kepada kredit 516 miliar itu cukup gede sangat besar sekali uangnya dan resikonya sangat tinggi ketika jaminannya tidak diletakkan hak tanggungan atau belum diletakkan hak tanggungan,” tambahnya.

Siska kemudian menyampaikan, dua hal yang harus dilakukan oleh Bank DKI untuk mengatasi masalah demikian.

“Maka apa yang harus dilakukan yang harus dilakukan? Yang harus dilakukan adalah Bank DKI secepatnya melakukan rekomendasi yang diberikan oleh BPK. Itu rekomendasi yang saya lihat ada dua ya, yang pertama itu menganalisis pemenuhan kredit kriteria penugasan bagi BUMD sebagai debitur Prima. Jadi yang tadi itu jangan sesama BUMD lantas pengajuan debitur Prima itu yang saya baca di laporan hasil audit BPK itu ada 8 kriteria tetapi ternyata PT PJA ini tidak memenuhi satu kriteria. Tidak memenuhi satu kriteria itu ternyata di tahun 2020 laporan keuangannya rugi karena covid 19, nah tapi tetap juga di 2021 kredit sebesar 516 miliar diberikan gitu. Mungkin ada baiknya untuk memulihkan apalagi PT PJA mau mengembangkan mengembalikam kerugian selama covid tapi inikan nggak boleh ini harus benar-benar serius prinsip kehati-hatian ini ddikerjakan. Kemudian apa yang harus dilakukan lagi? Segera itu menyelesaikan persoalan administrasi terkait hak tanggungan karena salah satu persoalannya kenapa hak tanggungannya itu belum juga bisa diurus ada salah satu persyaratannya harus ada rekomendasi dari pemegang HPL. Nah ini harus segera didorong, harus segera diupayakan Bank DKI tegas ya untuk menyelesaikan masalah ini, tegas kepada PT PJA agar segera melengkapi syarat administrasi untuk meletakkan hak tanggungan,” katanya.

Untuk diketahui, pada LHP PDTT yang dikeluarkan tanggal 30 Januari 2023 dengan no 7/LHP/XVIII.JKT/01/2023, BPK menemukan permasalahan pengelolaan kredit PT Bank DKI di rentan waktu dalam pemeriksaan tersebut, yaitu pemberian kredit, perpanjangan kredit, dan pelaksanaan restrukturisasi kredit pada enam debitur belum sepenuhnya memerhatikan prinsip kehati-hatian.

Adapun keenam debitur tersebut, yakni PT PJA senilai Rp905.000.000.000, PT GOA senilai Rp25.000.000.000 dan PT WSBP senilai Rp698.988.751.911. Lalu, PT RMU senilai Rp295.000.000.000, K3PG senilai Rp37.682.101.994 dan PT BJP senilai Rp29.865.069.425.

Hingga informasi ini disampaikan, awak media masih terus menggali informasi lebih lanjut.

You might also like
Leave A Reply

Your email address will not be published.