Pedagang Kaki Lima Menjerit Keluhkan Tarif Retribusi Loksem DKI Jakarta Naik
Siberkota.com, DKI Jakarta – Tarif retribusi untuk Pedagang kaki lima di lokasi sementara (loksem) dan lokasi binaan (lokbin) di wilayah DKI Jakarta naik. Kenaikan itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Imbas dari naiknya tarif retribusi tersebut, membuat para pedagang kaki lima mengeluh dan menjerit, karena dinilai terlalu tinggi.
Keluhan tersebut disampaikan para pedagang dalam rapat kerja Komisi B DPRD DKI Jakarta, pada Kamis (29/2/2024).
“Saya bayar 110 ribu, sekarang yang dijadikan ini yang terbuka ya jadi harus bayar 350 ribu. Kalau yang kayak ruko itukan tadinya 130 ribu, menjadi 450 ribu. Kan udah gak masuk rasio, alasannya apa dari tahun 2012 (Perda DKI No 3 tahun 2012 tentang Retribusi Daerah) gak pernah naik,” ungkap Ketua Perkumpulan Pedagang Kaki Lima Loksem dan Lokbin, Tri Harijanto Kamis, (29/2/24) saat diminta keterangan usai rapat.
Lebih lanjut, Tri mempertanyakan kebijakan kenaikan tarif terebut. Sebab, pada tahun 2020 kemarin gubernur mengeluarkan Pergub nomor 61 tahun 2020 bahwa selama pandemi dibebaskan dan pada tahun 2022 bulan Desember kemarin dicabut dan pihaknya hanya membayar Rp 110.
“Baru desember kemarin kira-kira tanggal 20 itu di informasikan bahwa naik, lah naiknya gak kira-kira,”katanya.
Tri menerangkan, dalam rapat tadi, warga meminta pengurangan menjadi Rp150 ribu dan pihak eksekutif sepakat akan membahasnya.
“Pokoknya tidak ada kompromi lain semuanya saya mintakan bayar yang lama, kalau 5×5 = 25 ya itu permintaan kita. Kebetulan ada anggota dewan tadi tolong kita, dan akhirnya keluar omongan tadi ibu kepala dinas akan mengundang kita untuk mengajukan ke PJ. Dan ini menurut dari biro hukumnya tadi sama dari bapenda memang ada pergub untuk mengeluarkan itu kalau memang ada kan harus mereka lakukan, caranya dari dinas mengajukan dan nanti hasilnya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta, Ismail mengatakan jika mengacu pada payung hukumnya maka para pedagang harus menggunakan perda baru.
“Kalau kita melihat berdasarkan payung hukum maka payung hukum yang terbarulah yang digunakan, yaitu perda no 1 tahun 2024. Namun tadi sebagaimana saya tegaskan itu tidak mengunci aspirasi daripada pedagang untuk mengusulkan, usulannya adalah untuk masih tetap diterapkan tarif yang lama sampai muncul kepgub baru sebagai usulan pengurangan,” katanya.