FITRA Soroti Kejanggalan Alokasi Anggaran Tunjangan Perumahan DPRD DKI Jakarta
SiberKota.com, Jakarta – LSM Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menduga adanya kejanggalan dalam alokasi Anggaran Tunjangan Perumahan DPRD DKI Jakarta.
Peneliti Divisi Hukum dan HAM FITRA, Siska Baringbing menyatakan, perihal anggaran Tunjangan Perumahan, termaktub pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 153.
Pada Pergub itu, dijelaskan bahwa perbulannya pimpinan DPRD mendapat tunjangan perumahan sebesar Rp. 70 Juta, sedangkan anggota Rp. 60 Juta.
Siska juga menguraikan alokasi Anggaran Tunjangan Perumahan setiap tahunnya. Pasalnya, anggaran ini berdasarkan data APBD murni Pemprov DKI.
1. Tahun 2021 tunjangan perumahan DKI sebesar Rp. 76.920.000.000.
2. Tahun 2022 naik drastis menjadi Rp. 100.652.000.000.
3. Tahun 2023 turun hampir Rp. 10 Milyar menjadi Rp. 90.052.800.000.
“Kami belum lihat berapa realisasinya, karena harus lihat lagi berapa realisasinya. Tetapi inilah yang kita dapatkan angkanya dari APBD murni,” kata Siska, Kamis (14/12).
“Nah, ada yang menarik yaitu ada terjadi kenaikan yang cukup signifikan dari 2021 Rp. 76,9 Milyar, menjadi 100 Milyar. Itu kalau kita lihat hampir Rp. 23 Milyar naiknya cukup besar cukup signifikan,” sambungnya.
Kejanggalan atas Kenaikan Anggaran Tunjangan Perumahan
Namun, dari beberapa data yang FITRA dapatkan, kenaikan itu hasil dari evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas APBD DKI Jakarta tahun 2022.
Alasan adanya kenaikan anggaran, Siska menduga karena selama hampir 4 tahun tidak adanya kenaikan Anggaran Tunjangan Perumahan.
“Mungkin (kenaikan anggaran) hitung inflasi dan sebagainya, tapi memang ini cukup signifikan kenaikannya,” ujarnya.
Menurut Siska, ada yang membuat pihaknya menarik. Pasalnya, pada tahun 2023 justru Anggaran Tunjangan Perumahan malah turun berkisar Rp. 10 Milyar.
Pada revisi Pergub 17 Tahun 2022, yang ditetapkan pada 21 April 2022, Tunjangan Perumahan untuk pimpinan dan anggota DPRD tidak lagi diatur dalam angka tetap seperti dalam Pergub sebelumnya (Pergub 153 tahun 2017 Pasal 16 dan 17).
“Di sini menariknya, di Pergub 153 direvisi menjadi Pergub 17 Tahun 2022. Pergub 17 Tahun 2022 ini ditetapkan tanggal 21 April 2022. Artinya, setelah APBD diketuk baru Pergubnya dirubah, di Pergub sebelumnya itu Pergub 153 tahun 2017 Pasal 16 dan 17 itu menyebutkan berapa angka Tunjangan Perumahan untuk pimpinan dan anggota DPRD,” ungkapnya.
Sebaliknya, besarannya akan ditentukan berdasarkan hasil penilaian tim penilai independen atau apresiasi.
Meskipun angka yang pasti belum dapat diakses melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur, informasi dari media adanya kenaikan anggaran.
Nilai yang Siska ketahui dari media yakni kenaikan dari Rp. 70 Juta menjadi 80 juta per bulan bagi pimpinan, dan anggota DPRD Rp. 60 Juta menjadi antara tahun 2021 dan 2022.
“Nah, di Pergub 17 Tahun 2022 itu tidak menyebutkan angka tetapi disebutkan besarannya itu sesuai hasil penilaian dari tim penilai independent atau apresiasi, sehingga kita tidak tahu berapa sebenarnya angka yang diberikan perbulan untuk pimpinan dan anggota DPRD,” tuturnya.
“Meskipun disebutkan bahwa akan diatur jumlahnya di dalam surat Keputusan Gubernur. Nah, kami mencoba mencari SK Gubernur tetapi belum dapat berapa angkanya. Tetapi lewat pencarian informasi dari media mainstream itu didapatkan informasi bahwa kenaikannya itu dari 2021 ke 2022 itu 10 juta. Artinya, pimpinan yang dulu dapat Rp. 70 juta perbulan itu naik menjadi Rp. 80 Juta, anggota yang awalnya mendapatkan Rp. 60 Juta menjadi Rp. 70 Juta,” terangnya.
Adanya Ketidaktransparanan dalam Kenaikan Anggaran di Pergub
Penting untuk dicatat, bahwa dalam Pergub 17 Tahun 2022, tidak seperti pada Pergub sebelumnya (Pergub 153), angka Tunjangan Perumahan tidak disebutkan secara langsung.
“Ini angka yang tidak disebutkan lagi, tidak seperti Pergub sebelumnya, Pergub 153 bahwa angka langsung disebutkan disini,” ungkapnya.
Kritik terhadap transparansi muncul karena besarannya sekarang ditentukan berdasarkan penilaian tim apresiasi, bukan angka yang sudah diatur pada tahap perencanaan anggaran.
“Ini yang kita nilai bahwa kurang transparan, karena di Pergub sebelumnya itu sudah cukup bagus transparan. Kita tahu angkanya berapa, tetapi di Pergub 17 Tahun 2022 itu besarannya diatur berdasarkan dari tim apresiasi,” jelasnya.
Siska menyoroti kebutuhan untuk melakukan penilaian sebelumnya dalam tahap perencanaan agar angkanya sudah dapat dibahas sebelum pengesahan APBD, menghindari pengaturan ulang setelah diketuk palu.
Nah, seharusnya penilaian itu dilakukan sebelumnya jadi dalam tahap perencanaan. Pada tahap perencanaan anggaran seharusnya pemerintah DKI Jakarta itu sudah membuat penilaian dari dari tim apresiasi berapa sih sehingga angkanya sudah masuk sebelum ketuk palu, sudah dibahas sebelum ketuk palu sehingga dapatlah angka berapa sih? Apakah Rp. 100 Milyar, apakah Rp. 90 Milyar ini sudah dapat gitu, sehingga tidak ada lagi bahwa ada pengaturan ulang akan diatur kembali berapa besarannya setelah APBD diketuk,” bebernya.
“Ini kan baru dapat nih kalau kita melihat logikanya, Pergub ini yang terjadi ini akan berdasarkan hasil tim penilai, APBD-nya sudah diketuk Pergubnya tentang berapa besarannya itu akan berjalan tuh, nanti lihat tergantung hasil tim penilaian karena kita lihat produk ini di revisi ditetapkan tanggal 21 April 2022,” tambahnya.
Ia berpendapat bahwa Pergub seharusnya lebih transparan dengan mencantumkan angka pasti untuk memudahkan pemahaman alokasi dana.
“Nah, ini yang kami maksudkan di sini kurang transparan. Jadi, harusnya sudah ada angka yang pasti di Pergub, sehingga lebih transparan, kita tahu berapa alokasinya,” pungkasnya.
Pengamat: DPRD DKI Perlu Klarifikasi
Di sisi lain, Ujang Komarudin, seorang Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia menyatakan, hal yang pertama ia sorot ialah perlu adanya klarifikasi dari pimpinan dan anggota DPRD terkait kejanggalan anggaran rumah dinas.
“Yang pertama, pimpinan dan anggota DPRD tentu harus klarifikasi kepada publik apa yang sesungguhnya terjadi dengan kejanggalan anggaran tersebut, karena publik berhak untuk tau terkait dengan anggaran rumah dinas gitu. Oleh karena itu ada keterbukaan informasi yang harus disampaikan oleh pimpinan maupun anggota DPRD DKI Jakarta,” paparnya.
Ujang menekankan bahwa keterbukaan informasi harus disampaikan kepada publik untuk menjaga pertanggungjawaban yang baik terkait penggunaan anggaran negara.
“Karena bagaimanapun kan, soal rumah dinas itukan anggaran negara, tentu harus dipertanggungjawabkan dengan baik, agar mereka memang menjalankan amanah sesuai dengan keinginan rakyat,” tuturnya.
Ujang mengungkapkan bahwa jika kejanggalan tidak dijelaskan, dapat muncul opini negatif dari publik dan media terhadap anggota DPRD, yang dapat merugikan kepercayaan masyarakat terhadap DPRD DKI Jakarta.
“Ketika misalkan kejanggalan itu tidak di klarifikasi, maka akan terbentuk opini yang negatif dari publik, dari teman-teman media kepada para anggota DPRD. Itu tidak baik, kenapa? Ini soal kepercayaan publik masyarakat kepada DPRD DKI. Jadi, kejanggalan itu harus di klarifikasi,” urainya.
Sorotan yang kedua adalah transparansi dalam penggunaan anggaran, baik terkait rumah dinas maupun anggaran lainnya dari APBD.
Ujang menganggap bahwa ini merupakan hal yang penting, untuk menjaga kejelasan pertanggungjawaban terhadap anggaran rakyat.
“Yang kedua, tentu jangan sampai soal rumah dinas yang dipertanyakan oleh publik termasuk oleh teman-teman media itu tidak di jawab, jadi seolah-olah tidak terjadi masalah padahal disitu ada dugaan masalah. Oleh karena itu, transparansi dalam penggunaan anggaran itu menjadi penting,” ucapnya.
“Jadi, DPRD sebagai wakil rakyat harus transparan dalam penggunaan anggaran apapun itu terkait dengan rumah dinas maupun anggaran yang keluar dari APBD. Karena tadi, anggaran rakyat anggaran negara pertanggungjawabannya harus jelas,” tandasnya.
Baca berita SiberKota lainnya, di Google News