BI Akan Lanjutkan Penahanan Suku Bunga
Siberkota.com, Jakarta – Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan pada Kamis (18/11/2021), terkait arah kebijakan dan suku bunga acuan BI 7 Day Reserve Repo Rate (BI7DRRR). Diperkirakan, perkembangannya tidak mengalami pergerakan signifikan.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menyampaikan, bank sentral diprakirakan masih akan melanjutkan penahanan suku bunga acuan sebesar 3,50%, meski tekanan inflasi membuat Amerika Serikat mulai menerapkan pengetatan moneter melalui tapering off pada November ini.
Menjelang penghujung tahun 2021, banyak perkembangan terkini yang mengarah terhadap tingginya prospek pemulihan kesehatan dan ekonomi, baik di level internasional maupun domestik. Namun, proses pemulihan di berbagai belahan dunia masih menunjukkan tingkatan yang berbeda-beda, yang berarti ketidakpastian masih relatif tinggi.
Dari aspek internasional, proses tapering off oleh Amerika Serikat telah dimulai dan tidak simetrisnya pemulihan suplai dalam mengantisipasi pent-up demand atau permintaan yang tertahan yang mendorong timbulnya krisis energi terjadi di banyak negara.
Dari sisi domestik, terkendalinya angka kasus harian Covid-19 telah mendorong terciptanya momentum baru dari pemulihan ekonomi. Disrupsi di sektor riil dalam bentuk apapun dapat mengganggu proses pemulihan yang sedang berlangsung.
Mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, pelonggaran moneter saat ini berpotensi memperparah arus modal keluar dan kita masih jauh dalam tahap ideal untuk mengimplementasikan pengetatan moneter tanpa membahayakan pemulihan di sektor riil.
“Oleh karena itu, menahan suku bunga kebijakan di angka 3,50% merupakan langkah yang dirasa tepat untuk saat ini,” kata ekonom makroekonomi LPEM FEB UI Teuku Riefky, Rabu (17/11/2021).
Penurunan besar kasus harian lebih dari 50.000 Juli lalu menjadi di bawah 1.000 kasus per hari di bulan Oktober mendorong relaksasi pembatasan sosial di sebagian besar daerah oleh Pemerintah Indonesia.
Pelonggaran ini mendorong peningkatan aktivitas ekonomi besar-besaran, terlihat dari mulai padatnya lalu lintas, masyarakat yang mulai bekerja dari kantor, dan ramainya pusat perbelanjaan di kota-kota besar.
Fenomena ini terefleksikan oleh inflasi tahunan di bulan Oktober yang tercatat sebesar 1,66% (yoy), melonjak dari 1,60% (yoy) di bulan sebelumnya.
Walaupun hampir semua komponen inflasi mencatatkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya, kenaikan signifikan terjadi pada kelompok harga transportasi yang didorong oleh meningkatnya mobilitas masyarakat yang sejalan dengan dugaan mulai pulihnya aktivitas ekonomi.
Sejauh ini, peningkatan inflasi Oktober merupakan yang tertinggi kedua sepanjang 2021, lebih rendah hanya dibandingkan peningkatan inflasi dari April ke Mei seiring terjadinya bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Sejalan dengan itu, inflasi bulanan Oktober tercatat sebesar 0,12% (mtm), meningkat dari 0,07% (mtm) pada periode yang sama tahun lalu.
Pelonggaran ini mendorong peningkatan aktivitas ekonomi besar-besaran, terlihat dari mulai padatnya lalu lintas, masyarakat yang mulai bekerja dari kantor, dan ramainya pusat perbelanjaan di kota-kota besar.
Fenomena ini terefleksikan oleh inflasi tahunan di bulan Oktober yang tercatat sebesar 1,66% (yoy), melonjak dari 1,60% (yoy) di bulan sebelumnya.
Walaupun hampir semua komponen inflasi mencatatkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya, kenaikan signifikan terjadi pada kelompok harga transportasi yang didorong oleh meningkatnya mobilitas masyarakat yang sejalan dengan dugaan mulai pulihnya aktivitas ekonomi.
Sejauh ini, peningkatan inflasi Oktober merupakan yang tertinggi kedua sepanjang 2021, lebih rendah hanya dibandingkan peningkatan inflasi dari April ke Mei seiring terjadinya bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Sejalan dengan itu, inflasi bulanan Oktober tercatat sebesar 0,12% (mtm), meningkat dari 0,07% (mtm) pada periode yang sama tahun lalu.
Pada dasarnya, kenaikan inflasi di Oktober 2021 merupakan indikasi
dari pemulihan ekonomi yang mulai berlangsung pasca gelombang Varian Delta yang terjadi di awal Triwulan III-2021.
Secara garis besar, kelompok harga barang yang diatur pemerintah dan kelompok harga barang yang bergejolak menjadi pendorong utama naiknya inflasi di Oktober 2021.
Peningkatan permintaan transportasi udara seiring dilonggarkannya pembatasan sosial dan kenaikan harga rokok pasca peningkatan cukai tembakau memberi tekanan inflasi pada kelompok harga barang yang diatur pemerintah ke tingkat 1,47% (yoy) dari 0,99% (yoy) di September 2021.
Kenaikan ini lebih terlihat dari pertumbuhan bulanan, di mana inflasi meningkat dari 0,14% (mtm) di September 2021 ke 0,33% (mtm) di Oktober 2021.
Lebih lanjut, inflasi kelompok harga barang bergejolak meningkat ke 0,07% (mtm) setelah mencatatkan deflasi di bulan sebelumnya (-0,88%, mtm), didorong oleh naiknya harga cabai, minyak goreng, dan daging ayam pasca berakhirnya musim panen, kenaikan harga minyak kelapa sawit, dan pembatasan produksi daging ayam.
Inflasi inti mencatatkan peningkatan kecil ke level 1,33% (yoy) di Oktober dibandingkan 1,30% (yoy) di bulan sebelumnya akibat peningkatan permintaan domestik.
Namun, kondisi berbeda terlihat dari tingkat inflasi bulanan. Pada Oktober 2021, inflasi inti mengalami penurunan ke tingkat 0,07% (mtm) dari 0,13% (mtm) di bulan sebelumnya didorong oleh penurunan harga emas perhiasan, sejalan dengan tren harga emas global.
Walaupun terhitung memiliki kontribusi yang relatif kecil terhadap keseluruhan perhitungan inflasi, komponen harga energi mencatatkan peningkatan dalam basis bulanan dari 0,07% (mtm) ke 0,10% (mtm) di Oktober 2021.
Angka inflasi tahunan menunjukkan tren yang serupa, di mana komponen harga energi mengalami inflasi sebesar 0,18% (yoy) di Oktober dari -0,04% (yoy) di bulan sebelumnya.
Dipengaruhi oleh peningkatan energi transportasi dan rumah tangga, naiknya inflasi komponen harga energi merefleksikan momentum pemulihan bertahap dari permintaan agregat.
“Secara keseluruhan, walaupun momentum pemulihan ekonomi terlihat sudah berlangsung, angka inflasi masih menunjukkan daya beli dan permintaan agregat yang masih di bawah kondisi normal, di mana angka inflasi masih lebih rendah dari batas bawah target inflasi BI senilai 2%,” kata Riefky.