siberkota
Mengupas Tuntas Informasi

Sertifikat Vaksinasi Jadi Syarat Administrasi, JPI : Hal Keliru dan Tidak Tepat Diberlakukan

Siberkota.com, Tangerang Selatan – Sebagaimana yang diketahui bahwa saat ini distribusi vaksin sedang digenjot oleh pemerintah sebagai herd imunity untuk pencegahan penularan Covid-19.

Untuk memenuhi target vaksinasi itu, pemerintah membuat kebijakan, sertifikat vaksinasi menjadi syarat dalam segala prosedur administrasi melalui Instruksi Kementerian Dalam Negeri (Inmendagri) nomor 15 tahun 2021 dan Surat Edaran Satgas Penangananan Covid-19 Nomor 16 Tahun 2021 tentang ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri pada Masa Pandemi Covid-19. Bahkan, kebijakan itu dikuatkan oleh pernyataan Wakil Kementerian Hukum dan Ham yang menyatakan bahwa bagi warga negara yang menolak vaksin dapat dipidanakan, ia merujuk pada UU No. 6 Tahun 2018 pasal 93 tentang kekarantina kesehatan.

Berangkat dari hal itu, Juris Polis Institute (JPI) mengadakan diskusi publik terkait isu sertifikat vaksinasi menjadi syarat segala prosedur administrasi dalam serial program “Ngopi Seruput” (Ngobrol JPI seputar Akar Rumput), Jum’at (27/8/2021).

Kegiatan yang Live di Instagram tersebut diisi oleh narasumber Faiqah Nur Azizah, S.H. (Wakil Direktur Eksekutif dan Mahasiswa Magister Hukum Pemerintahan Universitas Airlangga) dan dimoderatori oleh Nur Kholifah, S.H. (Direktur Administrasi – Juris Polis Institute).

Dalam kesempatan itu, menurut Faiqah, mengenai sertifikat vaksinasi menjadi salah satu syarat administrasi merupakan hal keliru dan tidak tepat untuk diberlakukan, karena tidak semua warga negara bisa dibebankan kewajiban wajib vaksinasi, sedangkan kewajiban administrasi ini berlaku bagi semua warga negara, sehingga logika hukumnya tidak menyambung. 

“Selain itu hal ini menjadi tindakan diskriminatif karena hanya orang-orang yang sudah vaksin sajalah yang bisa menikmati layanan publik, jika ada masyarakat menemukan sertifikat vaksin menjadi salah satu syarat wajib administrasi, lapor temuan tersebut ke ombudsman RI,” ujarnya.

Lebih lanjut, Faiqah mengatakan, aturan mengenai vaksinasi harus dilihat terlebih dahulu dari aturan yang lebih tinggi, yakni dalam Konsitusi UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1), kemudian UU nomor 2 Tahun 2020 perubahan atas Perpu 1 tahun 2020, kemudian turunannya Perpres No. 99 Tahun 2020 dan Perpres perubahan No. 14 Tahun 2021 tentang pengadaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi covid-19.

Kemudian beberapa turunan permenkesnya yang mengalami beberapakali perubahan menyesuaikan dengan kondisi distribusi vaksinasi diantaranya Permenkes No.10, No. 18 permenkes perubahan, No.19 permenkes perubahan kedua, dan terakhir No. 23 tahun 2021 Permenkes perubahan ketiga tentang pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19.

“Dalam Perpres 14 tahun 2021 disebutkan dalam pasal 13A ayat (1) sampai ayat (3) pada pokoknya pemerintah melalui kemenkes melakukan pendataan dan penetapan sasaran penerimaan vaksin Covid-19, selanjutnya bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai penerima vaksin Covid-19 berdasarkan pendataan yang telah dilakukan oleh kemenkes wajib mengikuti vaksinasi, kemudian orang-orang yang dikecualikan dari kewajiban adalah mereka yang tidak memenuhi kriteria penerima vaksin Covid-19 sesuai dengan indikasi vaksin yang tersedia,” paparnya.

Selain itu, lanjut Faiqah, Permenkes juga diatur lebih lanjut secara spesifik, pendataan tersebut dapat diakses melalui Sistem Informasi Satu Data Vaksinasi, by name by adress disertakan data nama, alamat, dan nomor NIK.

“Artinya tidak semua warga masyarakat bisa dibebankan kewajiban untuk melakukan vaksinasi, karena harus ditetapkan terlebih dahulu oleh negara bahwa si A si B terindikasi wajib melakukan vaksin. Tetapi  kenyataannya malah sebaliknya, distribusi vaksinasi terbuka luas, tanpa ada pendataan terlebih dahulu dari negara melalui Kemenkes yang membuat masyarakat malah berbondong-bondong mau divaksin,” terangnya.

Menurut Faiqah, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu oleh negara menurut Perpres 14 tahun 2021. Catatan selanjutnya adalah tidak ada satu sistem yang terintegrasi untuk mengakses informasi berkenaan dengan Covid-19 atau informasi vaksin seperti ada Covid-19, PeduliLindungi, Primary Care.

“Nah hal ini yang membuat masyarakat bingung mengakses informasi vaksin, karena informasinya masih berceceran dan tidak sesuai dengan amanat dari Permenkes 23 tahun 2021 mengenai Sistem Informasi Satu Data Vasinasi,” kata Faiqah.

Faiqah mengungkapkan, soal masyarakat yang menolak vaksin dapat dipidana, harus dilihat dulu apakah benar menolak vaksin dapat dikatakan melanggar hukum pidana?. Bahwa dalam konteks vaksinasi sebagai layanan kesehatan, harus merujuk pada UU No.36 tahun 2009 Jo. UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik, sehingga penyelenggaraan layanan kesehatan tersebut menjadi hak masyarakat dan kewajiban pemerintah, bukan dibalik menjadi kewajiban masyarakat.

“Jenis layanan kesehatan sifatnya pilihan, artinya dalam konteks ini masyarakat dapat memilih apakah ia mau divaksin atau tidak. Kecuali bagi mereka yang telah ditetapkan oleh negara, perintah vaksin menjadi wajib. Maka pernyataan tersebut menjadi tidak benar bila tindakan menolak vaksin dianggap sebagai perbuatan kriminal,” ungkapnya.

Faiqah menambahkan, hal ini juga sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No.275 K/Pid/1983. Bisa juga dikatakan bahwa pernyataan yang menolak vaksin dapat dipidana itu bertentangan dengan (1) asas lex certa (UU pidana berumus pasti dan tidak bermakna ganda), (2) lex stricta (rumusan UU pidana harus tegas dan tidak dapat dimaknai lain). 

“Ini juga menjadi catatan bagi pejabat publik jangan sampai segala persoalan dikit-dikit dipidana, dikit-dikit dipidana, hukum itu harus menjadi alternatif terakhir (ultimum remedium), asas kepastian hukum harus sejalan dengan asas keadilan dan kemanfaatan untuk masyarakat,” tambahnya. (Ban)

You might also like
Leave A Reply

Your email address will not be published.

G-9QEVPDG5HT