Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur KKP Dinilai Tidak Adil Bagi Nelayan Kecil

Siberkota.com, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) yang terdiri dari sembilan organisasi menolak kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) soal penangkapan ikan terukur. Salah satu yang disoroti ialah penerapan sistem kontrak di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI).

Wakil Sekretaris Pandu Laut Nusantara, Suhana menuding bahwa pemerintah tak obyektif soal pengontrakan 11 WPP NRI dalam kebijakan tersebut. Sebagian besar wilayah perairan tersebut dikatakan telah besar tingkat pemanfaatannya dan mengalami full exploited atau eksploitasi penuh dalam penangkapan ikan.

“Pemerintah harus betul-betul memerhatikan bahwa kondisi sumber daya (ikan) di sana sudah over exploited. Terutama di WPP NRI 711, 713 dan 718. Kami menolak dan mendesak menghentikan upaya liberalisasi dan privatisasi kelola sumber daya kelautan perikanan di sana,” ketusnya, Rabu (23/2/2022).

Dia menerangkan, draft penangkapan dengan sistem kontrak membagi WPP-NRI menjadi tiga zona, pertama ialah zona perikanan industri dengan WPP-NRI 572,573,711, 715, 716, 717 dan 718. Untuk zona perikanan lokal ada di WPP NRI 572,712 dan 713, serta zona perlindungan ada di 714.

“Pembagian zona ini terkesan tidak mempertimbangkan status pemanfaatan dan lebih berorientasi ke ekspor. Perikanan skala kecil tidak pernah dipertimbangkan kebijakan ini, di lapangan banyak nelayan Kita tidak tahu soal rencana ini,” tambah Suhana.

Selain itu, dia menyebut berdasarkan pantauan Earth Observation Group (EOG) menyatakan, masih banyak sekali kapal asing yang masuk wilayah perairan Indonesia tanpa izin. Sehingga dikhawatirkan dengan adanya kebijakan penangkapan terukur menjadi peluang kapal asing mengeruk kekayaan sumber perikanan nasional.

“Kami menolak dan ingin menghentikan penerapan kebijakan terukur yang bisa mengakomodasi sistem kontrak menjadi jalan dan kepentingan pemilik modal asing dalam penguasaan sumber daya ikan di WPP NRI

KORAL, lanjutnya, juga menentang masifnya perizinan kapal ikan asing untuk melakukan penangkapan ikan di WPP NRI dan mendorong nelayan nasional untuk mampu memberdayakan penangkapan ikan di Tanah Air.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan menjelaskan, dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan mendapat keuntungan besar, sebab 66,6% kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95% dari 5,9 juta ton.

“Sebab kita tahu kondisi koperasi perikanan kita tidak kuat bersaing dengan syarat kontrak yang ditetapkan oleh KKP. Penangkapan ikan terukur oleh KKP harusnya sudah menghitung tingkat risiko dan manfaatnya secara ekonomi,” ucapnya.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia M. Abdi Suhufan menjelaskan, dengan sistem kuota kontrak, perusahaan penangkapan ikan mendapat keuntungan besar, sebab 66,6% kuota sudah dikuasai oleh perusahaan dan bisa tambah sampai 95% dari 5,9 juta ton.

“Sebab kita tahu kondisi koperasi perikanan kita tidak kuat bersaing dengan syarat kontrak yang ditetapkan oleh KKP. Penangkapan ikan terukur oleh KKP harusnya sudah menghitung tingkat risiko dan manfaatnya secara ekonomi,” ucapnya.

Pihaknya juga mewanti-wanti pemerintah agar tidak hanya fokus pada nilai ekonomi dari kebijakan terukur, tapi ada kemungkinan kerusakan lingkungan yang besar dari eksploitasi penangkapan ikan. Pemerintah diketahui bertekad mendongkrak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan dengan target mencapai Rp 12 triliun di 2024.

You might also like
Leave A Reply

Your email address will not be published.