Siberkota.com, Jakarta – Pengamat Pendidikan Novianty Elizabet menyampaikan, pembentukan karakter di lingkungan sekolah masih berjalan lemah.
Kondisi demikian ditandai terus meningkatnya kasus perundungan beberapa tahun belakangan.
“Banyaknya perundungan yang terjadi di sekolah bisa kita katakan gagalnya pendidikan karakter, antara lain adalah andil sekolah,” terang Novianty, Jumat (8/12/2023).
Baca Juga: Besok, ASDI Suarakan HAM dan Korupsi di Konser Panggung Rakyat
Mengutip data yang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) rilis, kasus perundungan di sekolah pada 2020 tercatat sebanyak 119 kasus, lalu pada 2021 ada 53 kasus dan pada 2022 ada 226 kasus.
Dari jumlah itu, dari jenis bullying yang kerap terjadi berupa bullying fisik (55,5%), bullying verbal (29,3%), dan bullying psikologis (15,2%).
Untuk tingkat jenjang pendidikan, siswa SD menjadi korban bullying yang terbanyak (26%), kemudian siswa SMP (25%), dan siswa SMA (18,75%).
Novita mengatakan, perundungan erat kaitannya dengan pendidikan karakter anak.
Baca Juga: Antisipasi Distribusi Logistik Pemilu di Serang, TPS Tritayasa Nyebrang Lautan
Sementara itu, ada tiga sentra yang menjadi kunci dalam pendidikan karakter anak, yakni keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat.
“Jika ketiga sentra tersebut tidak bermitra atau bekerja sama, maka sekolah akan sangat sulit menegakan disiplin dan pendidikan karakter,” urainya.
Di institusi pendidikan sendiri, menurut dia, pendidikan karakter harus terintegrasi dengan semua mata pelajaran, sehingga semua guru harus mampu mendidik siswa.
Tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga mengedepankan pendidikan karakter.
“Dalam kasus bullying, sekolah harus menyediakan pendampingan guru bimbingan konseling terhadap anak-anak yang bermasalah secara mental,” tandas Novita.
Baca berita SiberKota lainnya, di Google News